Yayasan Islam Al-Hamidiyah
Opini
Home / Opini

Amal dan Ilmu Kiai Achmad Sjaichu (Part 1): Sosok Kiai dan Pejabat Negara Bersahaja

Jum'at, 31 Januari 2025 Oleh Irma Rahmawati 49 kali

Ini kisah yang jarang diketahui orang tentang K.H. Achmad Sjaichu (1921-1995), pendiri Pesantren Al-Hamidiyah Depok, santri kesayangan K.H. Ma’shum Ahmad (w. 1972), atau Mbah Ma’shum Lasem, yang juga anak angkat salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Wahab Chasbullah (1888-1971), atau Mbah Wahab Pesantren Tambak Beras.


“Bapak itu orang yang selalu berbaik sangka (husnuzzon) dan ramah pada orang lain, sehingga pernah beberapa kali kena tipu karena terkadang ada orang yang berniat buruk dan memanfaatkannya”, ujar dr. Imam Susanto Sjaichu, putra laki-laki tertua Kiai Sjaichu.

Hal itu dibenarkan oleh dr. Farida Sjaichu, adik dr. Imam, seraya menambahkan bahwa Ayahnya itu juga seorang yang “keras kepala”. 

“Di mata anak-anaknya, Bapak itu keras kepala, tegas, kalau sudah waktunya shalat, tidak ada kompromi, segera harus menggelar sajadah untuk shalat berjamaah”. 

Ternyata, yang dimaksud “keras kepala” adalah sikap istiqamah, di mana Kiai Sjaichu adalah seorang yang berpegang teguh pada prinsip kebenaran yang ia yakini.

Testimoni tentang Kiai Sjaichu, Pendiri Pesantren Al-Hamidiyah yang pernah menjadi Ketua DPRGR (1966), itu disampaikan dalam acara “Manaqiban”, sebagai bagian dari rangkaian cara Haul ke-30 K.H. Achmad Sjaichu, di hadapan para santri Pesantren Al-Hamidiyah (Kamis, 23/1/25). 


Santri dan keluarga besar Al-Hamidiyah menyimak dengan antusias kisah-kisah humanis tentang Kiai Sjaichu, yang diceritakan kembali oleh anak-anak dan cucu al-maghfurlah.

Di mata anak-anaknya, Kiai Sjaichu adalah seorang Ayah yang tidak banyak bicara, pendiam, namun lebih banyak mencontohkan teladan cara bersikap dan menjalani kehidupan.

“Bapak mengajari kami dengan amal, bukan dengan omel. Hobinya wirid, membaca al-Quran, kemana-mana tak lepas membawa al-Quran kecil yang ada resletingnya. Quran itu kini saya simpan”, ujar H. Zainul Mudjahidin, putra laki-laki ketiga Kiai Sjaichu, yang kini memimpin Kelompok Bimbingan Haji dan Umrah (KBIHU) Al-Hamidiyah.


H. Zainul kemudian membacakan salah satu wirid yang rutin dirapalkan keluar dari bibir Kiai Sjaichu, yakni kalimat tasbih (pujian kepada Allah):

سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ

“Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan selain Allah, dan Allah Mahabesar”


Kehidupan Kiai Sjaichu penuh lika-liku, perjalanan karir keilmuan dan politik memaksanya menghadapi berbagai tantangan dan rintangan. Kiai Sjaichu tidak pernah menyerah dan bahkan berhasil mengubah tantangan menjadi prestasi. 


Selain di kancah politik, Kiai Sjaichu juga pernah menduduki posisi puncak sebagai salah satu Ketua di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di era K.H. Idham Chalid (menjabat Ketua Tanfidziyah tahun 1956-1984).

Hj. Zubaidah, SE, putri keenam Kiai Sjaichu, berbagi cerita bahwa ia diajari oleh ayahnya untuk berserah diri kepada Allah Swt. dan membaca wirid di kala menghadapi kesulitan. Ia kemudian membacakan wirid itu bagi para santri, yaitu:

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ

“Cukuplah Allah (menjadi Penolong) bagi kami, dan Dia sebaik-baik Pelindung dan Penolong”


Tidak hanya istiqamah dalam kehidupan spiritual, Kiai Sjaichu juga digambarkan sebagai seorang yang sangat disiplin dan tertib termasuk dalam berpakaian. 

“Disiplin waktu. Penampilannya selalu necis. Sarung dan peci adalah dresscode utamanya, termasuk ketika di rumah”, tambah dr. Imam. 

Pakaiannya yang necis itu bukan berarti mewah. Meski menjabat posisi tinggi sebagai pejabat negara, Kiai Sjaichu dan keluarga tetap bersikap sederhana namun bersahaja. 

Istrinya, Bu Nyai Solchah, lebih senang naik angkot ketimbang menggunakan kendaraan dinas saat pergi belanja. Pun demikian anak-anaknya, diajari untuk tidak menggunakan fasilitas negara yang bukan haknya.


“Santri Pesantren Al-Hamidiyah boleh berbangga bisa belajar dan mengaji di Pesantren yang didirikan oleh Al-maghfurlah. Kecintaannya pada ilmu dan amal tidak diragukan lagi. Dan, kami terus berusaha mewariskan nilai-nilai kebaikan Bapak bagi para Santri semua”, pungkas putra Kiai Sjaichu, yang juga dokter spesialis bedah terkemuka di Indonesia itu.




Oleh: Prof. Dr. K.H. Oman Fathurahman, M.Hum., Kepala Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok