5 Niat yang Tidak Benar dalam Mencari Ilmu menurut Al-Ghazali
Senin, 28 Maret 2022 Oleh Kajis | 9,098 views
 
                    DEPOK – Untuk kedua
kalinya Pesantren Al-Hamidiyah Depok menggelar Kajian Kitab
dengan tema “Ngasuh” atau Ngaji Bersama
Pengasuh yakni, Prof. Dr. K.H. Oman Fathurahman,
M.Hum (Kamis, 17/03/22). Kitab yang dikaji berjudul Bidayatul
Hidayah karya al-Ghazali sekaligus syarah atau kitab
komentarnya Maraqil ‘Ubudiyah karangan Syekh Nawawi al-Jawi
al-Bantani.
 
Pada kajian kedua ini, setelah
pembahasan Mukadimmah di kajian pertama, teks pengajian kitab sudah memasuki
pembahasan pertama. Imam Al-Ghazali memberikan peringatan kepada para penuntut
ilmu. “Yang pertama diingatkan oleh Al-Ghazali,” tutur Kiai Oman, “Kalau
engkau niat belajar atau mengaji, jangan untuk al-munafasah atau berkompetisi.”
Beliau mencontohkan, mengaji dengan niat ingin menonjol dari yang lain, supaya
gengsinya tidak
turun, agar dianggap mahir, kalau mengaji nanti
dianggap orang lain bisa, meski di hati itu sebenarnya sudah
disebut al-munafasah.  
“Yang kedua, niat mencari ilmu atau masuk pesantren tidak untuk al-mubahata yakni membanggakan diri. Al-iftikhar, sombong, berbangga diri merasa besar, merasa pintar,” ungkap Kiai Oman. Yang dimaksud di antaranya, merasa besar diri karena telah belajar ilmu agama. Atau sebaliknya, sombong karena menguasai ilmu umum.
“Ketiga, at-taqaddum, lebih
unggul daripada yang lain, kolega. Pokoknya, enggak boleh
temen lebih maju,” tutur Guru Besar Filologi Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Jakarta itu. Beliau mencontohkan, seorang guru atau karyawan yang tersaingi
oleh juniornya. Ia lalu mengejar ketertinggalan tapi niatnya untuk al-taqaddum maka
itu tidak benar.
 
“Keempat, al-Istimalata wujuhin nas supaya
orang lain cenderung mendukung, menghormati, atau tampak lebih
berwibawa,” lanjut Kiai Oman, “Kelima, bermaksud menghimpun kemuliaan duniawi. Niat
menuntut ilmu yang salah, menurut Al-Ghazali seperti dengan memiliki ilmu maka
kapasitas naik, lalu kemudian jabatan naik, hingga akhirnya gaji naik, ini niat
harus dihindari. “Apakah menambah kekayaan duniawi itu dilarang?”tanya Kiai
Oman, “Tidak, tapi hatinya yang diatur oleh al-Ghazali, pada bab kemudian akan
dibahas”. Seperti diketahui, kekayaan duniawi bersifat
fana belaka. Artinya yang fana itu tidak dibawa mati.
 
Kiai Oman mengisahkan bahwa dirinya
pernah menghadiri penguburan sesosok jenazah yang sebenarnya memiliki posisi
penting saat hidupnya. Tetapi ketika wafat, masuk ke liang kubur, tidak satu
pun hartanya dibawa kecuali kain kafan. Saat si mayit ditimbun tanah pun,
kuburannya diinjak-injak oleh penggali kubur, padahal semasa hidupnya ia
terhormat sekali. “Ketika kita menuntut ilmu tapi meniatkan salah satu dari
lima hal tadi, maka diibaratkan transaksi kita rugi, bisnis kita rusak, tidak
ada kebaikannya, ini menurut perspektif spiritual. Ini kan ngaji kitab Bidayah,
jadi soal manajemen qalbu,” pungkas Kiai Oman.
Acara yang dimoderatori Ustadz Syifa
itu kemudian akhiri dengan tanya jawab. Para peserta menunjukkan antusiasnya,
ada yang bertanya melalui chaat dan secara langsung. Ke depan, Pesantren
Al-Hamidiyah berharap ngaji semacam ini bisa istiqamah dan diikuti oleh banyak
guru, ustadz, karyawan di lingkungan Yayasan Islam Al-Hamidiyah.  
Redaktur: Atunk