Yayasan Islam Al-Hamidiyah
Opini
Home / Opini

Ketika Lelah Menjadi Ladang Pahala: Potret Para Pendidik di Pesantren

Senin, 19 Mei 2025 Oleh M. Yasir 158 kali

Ketika senja mulai turun dan kebanyakan orang telah kembali ke rumah, menikmati waktu bersama keluarga atau bahkan sempat terlelap sebentar sebelumnya, para pendidik di pesantren—yang akrab disapa Ustadz dan Ustadzah—justru baru memulai giliran tugas mereka. Dengan penuh kesungguhan, mereka bersiap mendampingi para santri dalam kegiatan belajar malam: memastikan hafalan berjalan lancar, menyelesaikan diskusi kecil, dan menjaga suasana tetap kondusif hingga menjelang tengah malam saat para santri mulai beristirahat di asrama masing-masing.

Setelah itu, mereka pun tidur sejenak—bukan untuk benar-benar beristirahat, melainkan sebagai cara mengumpulkan energi sebelum kembali terjaga menjelang subuh. Dalam sunyi dan gelapnya dini hari, sekitar pukul 03.30 hingga 04.00 WIB, mereka telah berjalan dari kamar ke kamar, membangunkan para santri agar tak melewatkan waktu yang penuh berkah itu. Sebagian santri dan pendidik bahkan masih larut dalam kekhusyukan salat malam, menikmati perjumpaan lebih awal dengan Sang Khalik.

Usai salat Subuh, beberapa santri mungkin kembali merebahkan diri sejenak. Namun pagi tak memberi banyak jeda. Aktivitas baru sudah menanti: ada yang mengisi kelas Kajian Islam, melatih hafalan, mengurus administrasi lembaga, atau langsung mengajar ke madrasah di luar lingkungan pesantren. Bagi para Ustadz dan Ustadzah yang memegang amanah dalam pengelolaan program, agenda seperti rapat penyusunan tahun ajaran baru pun menanti, tanpa sempat beristirahat usai mengajar pagi. Seperti pagi ini, pukul sembilan mereka telah duduk bersama, membahas arah program tahun 2025/2026 dengan penuh kesungguhan. Masya Allah.

Apa yang membuat mereka tetap bertahan dalam rutinitas yang padat ini? Kuncinya bukan semata pada kekuatan fisik atau ketahanan fokus, melainkan pada ketulusan niat. Ketika mengajar tidak lagi dilihat sebagai pekerjaan biasa, tetapi sebagai ibadah dan bentuk jihad fi sabilillah, maka pandangan rasa lelah pun terasa berbeda. Lelah itu menjadi bermakna. Lelah itu menjadi ladang pahala. Lelah itu adalah persembahan kepada Sang Pemilik Hidup, Allah Swt.

Itulah kekuatan tak kasat mata yang menghidupkan semangat para pendidik di pesantren. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surat Al-‘Ankabūt [29]: Ayat 69:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَࣖ ۝٦٩

Artinya:

Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.

Ayat ini bukan sekadar penghibur, melainkan menjadi pegangan jiwa—penguat langkah mereka setiap hari. Kesungguhan dalam mencari rida Allah Swt. melahirkan keteguhan, dan dari keteguhan itulah datang berbagai solusi.

Namun, ada tantangan lain yang tak kalah penting: menjaga sunnatullah berupa keteraturan hidup. Dalam Islam, menjaga tubuh adalah bagian dari amanah. Rasulullah ﷺ pun telah mencontohkan pentingnya keseimbangan antara ibadah dan istirahat. Oleh karena itu, para pendidik di pesantren perlu melatih konsistensi dalam menjaga kesehatan fisik dan mental—meski di tengah keterbatasan waktu. Tidur siang sejenak, menjaga pola makan, meluangkan waktu untuk olahraga ringan, serta mengisi ulang spiritualitas melalui ibadah pribadi merupakan strategi penting agar tetap sehat dan berkelanjutan dalam perjuangan mendidik.

Sebagian dari mereka ada yang tinggal berjauhan dengan keluarga karena tugas yang menuntut mereka tinggal di asrama bersama santri. Ada juga yang tinggal bersama keluarga di rumah dinas dekat pesantren. Mengatur keharmonisan rumah tangga, menjaga keteladanan melalui kerendahan hati, serta menghadapi dinamika kehidupan santri dan kerasnya dunia luar yang kerap jauh dari adab—semua itu menjadi bagian dari suka duka kehidupan para pendidik pesantren. Namun, mereka tetap bertahan, karena semua kembali pada tujuan mulia: menjadi sumber ibrah (pelajaran hidup) bagi para santri.

Di balik semua aktivitas yang padat dan tanggung jawab yang besar, para ustadz dan ustadzah menggantungkan hatinya pada tawakal. Mereka sadar, mungkin tidak semua lelah mereka terlihat oleh manusia, tetapi Allah Swt. mencatat setiap langkah. Setiap perjalanan menuju kelas, setiap nasihat lirih saat membangunkan santri, setiap senyum yang terukir meski diselimuti kantuk—semua itu tak pernah sia-sia di sisi-Nya.

Dari mereka, kita belajar bahwa kekuatan sejati tidak hanya berasal dari tubuh, tetapi dari hati yang yakin dan pasrah dalam kebaikan. Para pendidik pesantren mungkin tak viral, tak tampil di layar kaca, namun mereka adalah penopang peradaban Islam. Mereka bukan sekadar pengajar kitab, tetapi juga pembimbing ruhani dan penjaga nilai ketulusan serta pengabdian.

Semoga Allah Swt. menjaga lelah mereka, menguatkan langkah agar terus istiqamah, dan menjadikan setiap pengorbanan mereka sebagai cahaya yang menyinari generasi masa depan.

Ditulis oleh:
Ira Asmara