Yayasan Islam Al-Hamidiyah
Opini
Home / Opini

Amal dan Ilmu Kiai Achmad Sjaichu (Part 2): Sosok Kiai Kutu Buku Dan Perjalanan Mendirikan Pesantren

Senin, 03 Februari 2025 Oleh Irma Rahmawati 63 kali

Ini kisah lanjutan di balik layar (behind the scene) gambaran kehidupan keseharian Almaghfurlah pendiri Pesantren Al-Hamidiyah Depok, K.H. Achmad Sjaichu, putra pasangan H. Abdul Chamid dan Hj. Fatimah, yang diceritakan oleh para dzurriyatnya menjelang Haul ke-30, yang puncaknya jatuh pada 2 Sya’ban 1446 H, bertepatan dengan Sabtu 1 Februari 2025 M.


“Mbah Kakung itu langsing perawakannya, lembut telapak tangannya, selalu tercium wangi tubuhnya. Pakaian favoritnya adalah baju berwarna putih, sarung putih, kopiah putih, kaos oblong juga putih”, cerita cucu pertama Kiai Sjaichu, Marti Alifa Fauzia, S.Psi, atau Bu Ati, menggambarkan sosok kakeknya.

“Kolega Mbah Kakung sangat banyak dan sering ke rumah”, lanjut putri pasangan dr. H. Fahmi Dja’far Saifuddin, M.P.H. (alm.) dan Dra. Hj. Mariam Chairiah Sjaichu ini, “Salah seorang tamu yang saya ingat adalah Mr. Shoji Onnisi, diplomat Jepang berperawakan besar yang berikrar syahadat di hadapan Mbah Kakung. Saking besar perawakannya, saya selalu ngumpet kalau Mr. Shoji ke rumah, karena takut“.

“Kalau sedang di rumah, Mbah Kakung sering minta kami memijit kaki dan punggungnya. Bukan pijit tangan, melainkan dengan cara diinjak-injak menggunakan dua kaki”, tambah Bu Ati.


Hal itu dibenarkan adik Bu Ati, Akmal Eki, atau Mas Eki. 

“Betis sekurus Mbah Kakung ternyata tangguh. Sampai-sampai waktu itu saya berpikir, Mbah Kakung kuat banget badannya, padahal tenaga saya juga kuat karena terbiasa latihan pencak silat sejak kecil”.


Dengan berbagai kesibukannya, Kiai Sjaichu memang sangat memperhatikan keluarga, atau istilah anak sekarang, menyempatkan family time. 

“Saya paling senang kalau diajak shalat tarawih bersama di ruang keluarga. Kadang ada cucunya yang naik punggung saat Mbah Kakung sujud, dan beliau membiarkan”_, kali ini M. Reza Fauzan Bobby, S.T., M.Ds., atau Mas Bobby menuturkan.

“Kalau jadi imam shalat, Mbah Kakung punya kebiasaan yang menyenangkan makmum, yaitu membaca surat-surat pendek”, ujar putra sulung dr. Imam Susanto Sjaichu ini. 

“Saya terkadang nakal juga, main perosotan tangga yang cukup tinggi di rumah. Tapi Mbah Kakung hanya tersenyum memandang. Sangat menyejukkan. Mbah Kakung pendiam, tapi berwibawa dan penuh teladan”.


Pengalaman serupa dialami Achmad Firdaus, S.E., M.M., atau Mas Firly. 

“Saat masih TK, saya malah pernah hilang seharian di Surabaya saat pergi bersama Mbah Kakung. Mungkin karena saya terlalu bersemangat berlarian kesana kemari”, adik Mas Bobby ini bercerita. 

“Ketika sore hari akhirnya pulang diantar tukang ojek, Mbah Kakung hanya geleng-geleng kepala, dan itu sudah lebih dari cukup membuat saya menunduk menangis”.

Ada satu kebiasaan Almaghfurlah Kiai Sjaichu yang bagi saya, sebagai seorang pengkaji manuskrip kuno, itu sangat penting, yakni kebiasaan membubuhkan tanda tangan dan tanggal pemerolehan sebuah buku. Dengan begitu, sejarah sang buku tercatatkan, hingga zaman kemudian. 

“Bapak hampir selalu menandai buku dengan tanda tangan dan tanggal pembelian atau pemerolehan”, dr. Imam menjelaskan.

Syukurlah, saya mendapat kiriman dari Mas Eki berupa beberapa foto buku koleksi Kiai Sjaichu yang bertanda tangan dan bertanggal itu. Ada Dictionary of American Politics karya Smith and Zurcher, bertuliskan “Hadiah dari Kedutaan Amerika 1/8-69, ini berarti 7 hari menjelang hari lahir saya.


Ada juga buku Philosophy of Islamic Law and the Orientalists karya Dr. Muhammad Muslehuddin, bertanda tangan dan bertanggal 15/1-79. 

Buku lainnya berjudul The Case of Israel: A Study of Political Zionism karya R. Garaudy, bertanda tangan dan bertanggal 12/11-85. 

Nampaknya, buku yang saya sebut terakhir merupakan persembahan khusus untuk Kiai Sjaichu dari Penerbitnya, SHOROUK International yang berbasis di London. Dalam kartu nama yang terselip, tertulis “With Compliments on the behalf of the Muslim World League Makkah al-Mukarramah”.

Dari sini saja tergambar luasnya pergaulan pendiri Pesantren Al-Hamidiyah Depok ini semasa hidupnya.

Buku-buku itu memang tidak untuk diajarkan ke santri, hanya semangat literasinya yang diwarisi. Di Pesantren, Kiai Sjaichu tetap mengajarkan kitab kuning (klasik), seperti Al-Muwaththa’, kitab hadis karya Imam Malik bin Anas (w. 795 M), dan al-Ahkam al-Sulthaniyah, kitab tentang prinsip-prinsip kepemimpinan Negara karya Al-Mawardi (w. 1058) M. Dua kitab besar ini amat masyhur dalam konteks tradisi intelektual Islam.


Kiai Sjaichu memang tidak sekadar gemar membaca al-Quran, melainkan juga hobi menyantap beragam buku pengetahuan seperti tergambar dalam judul-judul buku di atas. Tak heran jika Kiai Sjaichu berwawasan luas. Kiprah dan gaulnya nyaris tak berbatas.

“Buku yang dibacanya beragam, bukan hanya kitab keagamaan, tapi bacaan ilmu-ilmu umum”, papar dr. Imam Susanto, putra kedua Kiai Sjaichu, yang kini memimpin bahtera besar perahu Yayasan Islam Al-Hamidiyah, bersama adiknya, Ir. H. Moch. Sutjahjo, dan juga H. Achmad Fauzi sebagai Dewan Pembina. 


Pesan moral Kiai Sjaichu inilah yang kini juga diterapkan di Pesantren Al-Hamidiyah. Santri tidak hanya belajar ilmu agama Islam melalui kitab-kitab klasik, tapi juga sains, teknologi, seni, matematika, dan ilmu-ilmu umum lainnya. 

Metode STEAMMI (Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics, Montessori dan Islamic) adalah salah satu inovasi pendekatan pembelajaran yang diterapkan di Al-Hamidiyah.

STEAMMI dipadukan dengan konsep Santri KITAB (Komunikatif, Inovatif, Terbuka, Argumentatif, dan Berintegraitas). Nilai-nilai warisan Kiai Sjaichu itu yang kini menjadi unggulan dalam pembelajaran di Pesantren Al-Hamidiyah, agar lahir santri-santri cerdas berakhlakul karimah.

“Tapi Bapak juga sadar, kesibukannya yang padat harus diimbangi dengan sehat jasmani, karenanya Bapak sangat perhatian berolah raga”, dr. Imam melanjutkan, 

“Bermain badminton  adalah hobi Bapak, dan itu menurun ke saya serta cucu-cucunya sampai sekarang. Kadang bersepeda atau jalan pagi”.


Salah satu kebiasaan lain Kiai Sjaichu yang konon sulit diikuti oleh anak-anaknya adalah terus-terusan belajar Bahasa Arab.

“Padahal, Bahasa Arab Bapak itu sudah lancar, biasa pidato di berbagai forum menggunakan Bahasa Arab, tapi masih saja mengundang guru privat orang Mesir ke rumah. Dan Bapak sangat hormat serta takzim pada gurunya itu”, dr. Imam melanjutkan ceritanya. 

“Ayah mertua saya kan orang Madinah, menikah dengan gadis Garut. Suatu ketika, keluarga Ayah mertua saya setengah bercanda bilang bahwa Bahasa Arab Bapak ini bahkan lebih bagus dari Ayah mertua saya yang orang Arab”.

Kesungguhan Kiai Sjaichu dalam berilmu telah menghantarkannya menjadi tokoh yang selalu menebar manfaat dan menyemai maslahat. 

“Namun, kesuksesan Bapak di luar sebetulnya dimulai dari keberhasilannya menerapkan disiplin pribadi dan keluarga”, H. Zainul Mudjahidin, adik dr. Imam menjelaskan. 

“Saya termasuk yang sering diajak keliling berdakwah sama Bapak. Meski di rumah pendiam, tapi beliau adalah seorang orator ulung, hobinya keliling pesantren, silaturahmi ke para kiai. Bapak sering menyelipkan pesan untuk selalu memperbaiki amal, akhlak, membaca al-Quran dan mengamalkan isi ajaran al-Quran”, pungkas Pak Zainul.


Saya jadi ingat pengakuan Mas Hilmi Ali Yafie bahwa Kiai Sjaichu lah yang sering mengajak ayahnya, Anregurutta Prof. Dr. K.H. Ali Yafie (alm.), tokoh asal Sulawesi Selatan, untuk bersilaturahmi menemui sejumlah Kiai NU di Jawa. Kiai Ali Yafie adalah penasihat (mustasyar) Pesantren Al-Hamidiyah hingga akhir hayatnya.

Yang unik, kalau mengajak “pelesiran”, Kiai Sjaichu selalu membawa keluarganya itu ke Cibodas, Pelabuhan Ratu, Sukabumi. 

Suatu ketika putrinya, dr. Farida, Sp.Ak, protes, “Bapak kan pejabat, kenapa tidak mengajak kami wisata ke luar negeri, atau ke tempat lain yang lebih bagus?” 

Kiai Sjaichu menjawab kalem penuh kharisma, “Dalam kehidupan duniawi, jangan lihat ke atas, lihat ke bawah, masih banyak saudara-saudara kita yang bahkan untuk makan saja masih sulit”.

Kalau sudah begitu, anak-anaknya menurut, tidak berani membantah.


Begitulah perjalanan hidup Almaghfurlah K.H. Achmad Sjaichu, yang di akhir pengembaraannya memutuskan kembali ke Pesantren, dan pada tahun 1988 mendirikan Pesantren Al-Hamidiyah di Depok. 

Kiai Sjaichu sangat menikmati tinggal di Pesantren, bercengkerama dengan santri, sering membelikan kitab buat santri, dan bahkan ikut mematikan lampu Pesantren saat pagi. Ulama besar ini pun dimakamkan di dalam kompleks Pesantren.

Untuk para santri, cucu Kiai Sjaichu, Rahmat Fajar Trianto, S.T., atau yang biasa disapa Mas Anto memberi nasihat, “Yuk belajar bersungguh-sungguh seperti telah dicontohkan Mbah Kakung, Kiai Sjaichu. Kami segenap keluarga dan Yayasan Islam Al-Hamidiyah berkomitmen untuk terus berkhidmat yang terbaik bagi pendidikan para santri”.

Kini, benih yang ditanam Kiai Sjaichu telah berkembang menjulang. Selain Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) di Pesantren, berkembang pula TPQ, PG-TK, SDIT, SMPI, dan STAI Al-Hamidiyah.


Semoga Haul ke-30 K.H. Achmad Sjaichu menjadi nasihat bagi kita semua untuk terus meneladani Almaghfurlah, dan melanjutkan jejak perjuangannya. Sesuai ungkapan:

قد غرس من قبلنا فأكلنا فنحن نغرس ليأكل من بعدنا

“Para pendahulu telah menanam benih (kebaikan), sehingga kita bisa makan (menikmati hasilnya). Saatnya kita yang menanam (kebaikan), agar kelak anak cucu kita bisa makan (memanfaatkan hasil jerih payah kita)". Untuk K.H. Achmad Sjaichu, Ibu Nyai Hj. Solchah Yasin beserta seluruh anggota keluarga yang telah mendahului, al-fatihah…



Oleh: Prof. Dr. K.H. Oman Fathurahman, M.Hum., Kepala Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok