SAAT GURU DIUJI ISU VIRAL: MENEGUHKAN KEMBALI MARWAH DAN KEMULIAAN GURU INDONESIA

Senin, 17 November 2025 Oleh M. Yasir | 175 views

Img
Di tengah derasnya berita viral tentang guru, tantangan yang muncul bukan hanya soal citra profesi, tetapi juga ketenangan jiwa. Sorotan publik sering terhenti pada satu “titik hitam”, sementara luasnya dinding putih pengabdian sehari-hari luput dari perhatian. Karena itu, guru perlu kembali meneguhkan niat, menjaga konsistensi pada nilai-nilai kebaikan, dan terus berdiri teguh dalam marwah serta kemuliaan profesinya—apa pun isu yang datang dan pergi.

Beberapa waktu terakhir, dunia pendidikan kembali menjadi sorotan publik. Media sosial ramai membicarakan berbagai kasus yang melibatkan guru — mulai dari teguran yang disalahartikan, tindakan disiplin yang dianggap kekerasan, hingga miskomunikasi dengan orang tua murid yang kemudian menjadi viral. 

Namun sesungguhnya, dalam hiruk-pikuk media sosial tersebut, dunia pendidikan sering tampil seperti tembok besar berwarna putih bersih yang di tengahnya terdapat satu titik noda hitam. Alih-alih melihat luasnya warna putih yang mendominasi—simbol dari pengabdian, ketulusan, dan kerja sunyi jutaan guru—banyak orang justru terpaku pada satu titik hitam itu. Kasus viral sekecil apa pun, meskipun hanya dilakukan oleh segelintir orang, seakan cukup untuk mencoreng marwah seluruh profesi guru. Padahal titik itu hanyalah sebagian kecil dari tembok besar yang selama ini berdiri kokoh menopang masa depan bangsa.

Di tengah sorotan yang tak selalu adil ini, guru sering menjadi pihak yang paling mudah disalahkan. Setiap kesalahan cepat dibagikan, setiap kekhilafan mudah dihakimi. Namun jarang sekali dunia mau berhenti sejenak untuk melihat betapa luasnya bagian putih yang tak pernah terekam kamera: guru yang datang paling pagi, yang mengajar sambil menahan lelah, yang membimbing tanpa pamrih, yang tetap tersenyum meskipun digempur tuntutan, administrasi, dan ekspektasi yang kian tak terbatas.

Guru sering disebut “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Sebutan ini bukan untuk merendahkan, melainkan justru untuk meninggikan: karena jasa mereka tak ternilai, priceless. Guru mendidik manusia, membentuk akhlak, menanam nilai, dan menumbuhkan peradaban. Tak ada mata uang yang bisa membayar tugas semulia itu. Namun di tengah perubahan zaman, penghormatan terhadap guru kerap digoyang oleh pandangan yang serba cepat dan dangkal. Banyak yang menilai guru hanya dari kesalahan kecil, lupa pada pengorbanan besar yang dilakukan setiap hari. Guru bukan profesi yang lahir dari popularitas, melainkan dari panggilan jiwa untuk melayani dan membentuk generasi.

Ketika sebagian orang memilih menyoroti titik hitam, tugas kitalah untuk terus memperluas bagian putih itu—dengan bekerja sungguh-sungguh, menjaga adab, membangun integritas, dan meneladankan kemuliaan profesi dalam keseharian. Guru tetaplah pilar peradaban. Dan sekecil apa pun badai opini yang datang, marwah guru akan selalu berdiri tegak selama kita bersama-sama menjaga warna putih itu: warna pengabdian, kesabaran, dan kemuliaan yang tak pernah lekang oleh zaman.

Selalu ingatlah bahwa  penghargaan sejati tidak datang dari manusia, tetapi dari Langit. Allah swt berfirman dalam QS. Al-Mujadilah (58) Ayat 11:

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.


Dari ayat ini, Guru dapat menguatkan hati untuk terus belajar sehingga meski dunia kadang menilai rendah, Langit tidak pernah salah menilai tinggi. Guru yang bekerja dengan niat lillah tidak membutuhkan sorotan; karena setiap langkahnya sudah dicatat sebagai amal jariyah.

Selain itu, menjadi guru hari ini berarti siap menjadi pribadi yang multi-talenta. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing moral, motivator, inovator, sekaligus penjaga keseimbangan nilai di tengah derasnya arus digital. Ia perlu memiliki growth mindset — keyakinan bahwa setiap kesulitan adalah peluang belajar, setiap kritik adalah bahan refleksi, dan setiap kegagalan adalah bagian dari proses tumbuh. Guru dengan pola pikir bertumbuh tidak akan mudah goyah oleh kritik atau viral sesaat. Ia tahu, kebenaran dan keikhlasan tidak perlu pembelaan; cukup dibuktikan dengan keteguhan dan karya nyata. 

Sejalan wasiat Al-Magfurlah KH. Achmad Sjaichu yang selalu disampaikan ulang oleh Kepala Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah- Bapak Prof.Dr.KH.Oman Fathurahman, M.Hum.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalan Surat An-Nahl (16) ayat 125:


Artinya: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.


Kasus viral memang menyakitkan, tetapi ia hanyalah satu titik gelap yang tak mampu menutupi luasnya tembok putih pengabdian guru Indonesia. Justru di tengah badai itulah tampak kemuliaan guru: tetap tenang saat disalahpahami, tetap sabar saat dicerca, dan tetap menebar kebaikan saat dunia memperbesar keburukan. Guru tidak perlu gentar pada isu viral selama ia berpegang pada kebenaran dan niat yang lurus, sebab marwah pendidik tidak ditentukan oleh opini sesaat, melainkan oleh keteguhan dalam membimbing manusia menuju kemuliaan.

Ketika guru berdiri teguh dengan adab dan ketenangan, ia bukan hanya menjaga martabat profesinya, tetapi juga memberi teladan bahwa kebaikan selalu lebih kokoh daripada kebisingan yang mencoba meruntuhkannya. Guru yang berjiwa besar tidak melawan keburukan dengan kebencian; ia menjawabnya dengan perbuatan baik. Ia tidak perlu berdebat di ruang publik, karena karyanya sudah cukup berbicara.

Untuk itu, guru perlu menjaga keseimbangan dirinya: meluruskan niat bahwa mengajar adalah ibadah, menjaga hati agar lelah tidak berubah menjadi putus asa, terus belajar karena cinta pada ilmu, dan bersandar pada komunitas yang saling menguatkan. Guru yang kuat jiwanya akan melahirkan generasi yang kuat pula.

Guru adalah lentera yang tidak berhenti hanya karena melihat kegelapan; ia justru mencari banyak sumber dan jalan agar bukan hanya cahayanya yang menyala, tetapi juga penyebab kegelapan itu dapat dipahami dan diperbaiki. Ia menerangi sambil mengurai persoalan, menuntun sambil membenahi. Maka, jangan gentar oleh perubahan zaman atau hiruk-pikuk berita yang menyesatkan. Teruslah menyalakan cahaya dengan ketulusan. Tambahkan warna putih kebaikan setiap hari hingga dunia kembali melihat kejernihan pendidikan. Dunia mungkin tidak selalu memberi tanda jasa, tetapi Langit tidak pernah alpa mencatat setiap pengabdian guru. Jadilah tembok putih yang terus melebar—tetap putih bersih, tetap menyejukkan, dan terus menumbuhkan kehidupan.

Selamat Hari Guru Nasional 2025. Dari Guru untuk Pendidikan Indonesia yang lebih baik.


Tentang Penulis:

Ira Asmara adalah Kepala TPQ Al-Hamidiyah Depok dan penggerak dunia pendidikan dengan lebih dari 25 tahun pengalaman dalam manajemen dan pengembangan pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah. Saat ini juga aktif sebagai Tutor di Universitas Terbuka (Salut Sawangan). Tulisan ini merupakan refleksinya atas perjalanan spiritual dan profesional sebagai pendidik di era yang berubah cepat.

Hubungi Kami untuk Informasi Pendaftaran dan Harga

Img