Yayasan Islam Al-Hamidiyah
Berita
Home / Berita

Halal Bihalal Al-Hamidiyah, Dr. (H.C.) Lukman Hakim Saifuddin: Pentingnya Memaknai Keragaman dan Menyikapi Perbedaan

Jum'at, 05 Mei 2023 Oleh Kajis 895 kali

DEPOK – Halal Bihalal Keluarga Besar Yayasan Islam Al-Hamidiyah (YIA) kali ini diselenggarakan pada hari kesebelas pasca-Idul Fitri. Acara yang berlokasi di Masjid Pesantren Al-Hamidiyah ini menghadirkan pembicara Mustasyar YIA, Dr. (H.C.) Lukman Hakim Saifuddin. Seluruh jajaran direksi, tenaga pendidik dan kependidikan hadir secara langsung, sementara para wali santri, murid, dan alumni hadir secara daring melalui Zoom (Selasa, 2/5/23).

 

Dr. (H.C.) Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, kita dituntut untuk menjaga kebersamaan karena memang kita tidak sama. Kebersamaan itu bukan menyeragamkan, bukan menyatukan, tetapi kebersamaan itu kesatuan. Kesatuan dengan masing-masing yang berbeda artinya tetap terjaga eksistensi keragamannya.

 

“Pesan utama ajaran agama adalah bagaimana kebersamaan itu tetap dijaga. Ada dua ayat Al-Qur’an yang menarik, isinya menjelaskan bagaimana Allah itu menjelaskan hakikat makna dari keragaman dan perbedaan. Saya ingin memberikan peneguhan sekaligus penegasan terkait dengan bagaimana kita memaknai keragaman dan menyikapi perbedaan,” jelas Pak Lukman.  



 

Dua ayat yang dimaksud beliau ialah, pertama firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Hujurat: 13 yang artinya,”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.

 

Kedua, Q.S. Al-Maidah: 48 yang artinya, “Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”.

 

“Bagi saya, ini amat sangat penting karena realitas kita itu hidup di tengah-tengah keragaman maka pesan para orang tua kita, para guru-guru kita, para leluhur kita, adalah jangan pernah punya obsesi, keinginan, atau cita-cita untuk menyeragamkan semua yang beragam-ragam karena kita akan menentang takdir Allah. Keragaman itu sunatullah sesuatu yang memang begitulah Allah menghendakinya,” tegas Pak Lukman.



 

Putra bungsu Almarhum Prof. K.H. Saifuddin Zuhri ini menyampaikan bahwa yang dituntut dari kita bukan menyeragamkan keragaman, tapi menyikapi keragaman itu dengan penuh kearifan. 

 

“Para ahli ilmu tafsir menafsirkan ‘saling kenal’ itu tidak hanya sekadar artian fisik kenal tapi saling mengenali yang kemudian saling berinteraksi, saling berkomunikasi, saling mengisi, saling melengkapi, saling berbagi, saling berkooperasi, dan saling bersinergi itu hakikat kita,” lanjutnya.  

 

Sedangkan pada ayat kedua, lanjut adik dari Almarhum dr. H. Fahmi D. Saifuddin, MPH ini, Allah Swt mengatakan bahwa perbedaan itu dijadikan sebagai ujian. Ujian itu cara Allah untuk memberikan kesempatan peluang bagi kita untuk naik kelas karena hanya orang-orang yang lulus ujian sajalah yang bisa naik kelas.

 

“Jadi, ujian itu sebenarnya anugerah. Seringkali kita salah persepsi, kita menghindar dari ujian, padahal ujian itu maknanya luas. Semua ujian sumbernya adalah keragaman dan perbedaan, cara kita memaknai dan menyikapi keragaman itu. Allah memberikan kesempatan untuk kita bisa naik kelas karena bagi orang yang tidak diuji dia tidak akan pernah naik kelas. Jadi sebenarnya bagi orang-orang yang mengerti dia justru mengharapkan ujian,” tuturnya.

 

Penulis Buku Moderasi Beragama ini menganalogikan, murid-murid yang pintar itu menunggu-nunggu kapan ujian, mereka justru mengharapkan. Tapi sebaliknya, yang tidak siap, mereka tidak suka ujian. 

 

“Menurut hemat saya, banyak di antara kita yang memaknai perbedaan itu sebagai ancaman. Kalau saya berbeda dengan tetangga saya, dengan kanan kiri saya, depan belakang saya, kok rasanya saya nggak nyaman. Perbedaan ini bisa macam-macam; beda suku, beda macam-macam, beda keimanan sekalipun, beda mazhab. Seringkali cara kita memaknai perbedaan itu ancaman, karena manusiawi, namun juga orang selalu senang di zona nyaman sehingga kalau kemudian menghadapi sesuatu yang berbeda reaksi yang pertama itu adalah ada rasa nyaman yang terusik,” ungkapnya.

 



Padahal, lanjut suami dari Ibu Trisna Willy ini, Allah Swt menghendaki keragaman itu adalah untuk bersinergi dan keragaman yang lain sebagai ujian yang kedua-duanya sama-sama positif. 

 

“Nah, oleh karenanya Lebaran dalam konteks Indonesia oleh para leluhur kita, para ulama-ulama kita terdahulu mengambil istilah yang memang khas spesifik Nusantara 'Halal Bihalal', saling memohon maaf itu  adalah cara untuk mengembalikan kemanusiaan kita,” terang Pak Lukman.  

 

Mustasyar YIA ini menutup ceramahnya dengan mengatakan bahwa inti pokok ajaran Islam itu di antaranya adalah memanusiakan manusia, menjaga kemanusiaan kita, harkat derajat martabat kemanusiaan, sehingga perbedaan sebesar, sekeras, atau setajam apa pun tidak boleh sampai memutus hubungan kemanusiaan kita.

 

“Tidak ada alasan apa pun dalam ajaran Islam yang bisa menjadi pembenar untuk memutus hubungan kemanusiaan. Itulah kenapa kita perlu jaga, kita pelihara, dan kita rawat dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan Idul Fitri tahun ini kembali membuat kita menjadi manusia lagi, manusia yang betul-betul kembali kepada fitrah kemanusiaannya,” pungkas tokoh yang dikenal publik dengan inisial LHS ini. 


Foto: Tim Markprom/Kominfo YIA

Pewarta: Atunk