Yayasan Islam Al-Hamidiyah
Berita
Home / Berita

Buka Puasa Bersama dan Tahlil 40 Hari, Pengasuh: Ada Dua Kebahagiaan

Jum'at, 05 April 2024 Oleh Kajis 578 kali

JAKARTA – Dalam acara buka puasa bersama dan tahlil 40 hari memperingati wafatnya Almarhum Ir. H. Raden Panji Hadi Tjahjono Sasraningrat, M.B.A., M.M., Prof. Dr. K.H. Oman Fathurahman, M.Hum. (Kepala Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah) memberikan mauizah hasanah terkait dua kebahagiaan (Kamis, 4/4/2024).


Kiai Oman mengutip Hadits Rasulullah saw. yang artinya bahwa orang yang berpuasa akan meraih dua kebahagiaan, ketika berbuka puasa dan ketika bertemu Tuhannya.


“Tema kita pada hari ini buka puasa dan memperingati wafatnya Alm. Pak Hadi. Hadits Rasulullah saw. tadi, sangat cocok untuk kita renungkan. Dan saya mendapat pemahaman baru dari penjelasan Pak Lukman. Kematian tidak selalu diidentikan dengan kesedihan, tapi bisa juga sebagai kebahagiaan, bahkan melebihi kebahagiaan berbuka puasa,” ungkap Kiai Oman.



Untuk ‘bertemu Tuhan’, lanjut Kiai Oman, ada sebuah ungkapan yang populer bahwa man ‘arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu yang artinya bahwa siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya.


“Kita berhusnuzan, Alm. Pak Hadi dalam dirinya sudah mengenal Tuhan, sikap beliau nothing to lose  sehingga yang ada adalah cinta atau mahabbah. Para sufi yang kehidupannya tidak memikirkan hal-hal duniawi adalah mereka yang sudah mengenal Tuhan,” jelas Guru Besar Filologi FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

 

Puasa itu artinya menahan, lanjut Kiai Oman, menurut Al-Ghazali bahwa setiap insan pasti memiliki potensi dua hal; syahwat, ambisi atau keinginan dan ghadhab atau marah.



“Syahwat itu sesuatu yang menginginkan untuk makan, minum, dan berhubungan suami istri. Selain syahwat, secara alamiah manusia juga memiliki marah. Kata Al-Ghazali, cara paling mudah untuk menahan syahwat dan amarah ialah dengan puasa.” 


Syahwat dan marah merupakan khadim atau pelayan dari al-nafs atau jiwa (diri). Jadi, jika syahwat dan marah belum mampu ditahan, masih melakukan hal kotor, maka puasa kita belum berhasil. 


“Tak heran dalam bab puasa kita sering mengetahui ada tingkatan puasa 'awam (rendah), khawwash (khusus), dan khawwashul khawwash (lebih khusus). Mengendalikan syahwat dan marah masih di tingkat puasa awam.”



Menundukkan al-nafs saja tidak cukup, karena di atas itu masih ada al-hawasi atau pancaindera. Sementara pancaindra diibaratkan oleh Al-Ghazali sebagai jawasis atau intel.


“Jadi, dalam tubuh kita ada pion yaitu syahwat dan marah, jika kita tidak puasa maka pion ini akan liar dan merusak kita. Di atas itu ada al-nafs yang ternyata menjadi pelayan ‘aql atau akal pikiran,” kata Kiai Oman.


Al-Ghazali mengibaratkan akal dalam diri manusia seperti perdana menteri. Akal yang IQ-nya tinggi bisa membuat bom atom, nuklir, dan sebagainya. Setiap diri manusia ada empat sifat yakni malaikat, hewan, binatang buas, dan setan. 


“Kalau saja akal kita salah memerintahkan, dalam jiwa kita akan muncul sifat-sifat setan. Akal memiliki bawahan jiwa, jiwa memiliki bawahan intel pancaindra,” lanjut Kiai Oman.




Al-Ghazali menambahkan bahwa akal adalah pelayan al-qalb atau hati nurani yang selalu memandang Tuhan. Para pemilik hati nurani yang seperti ini tidak pernah khawatir, sekalipun meninggal dunia, karena tujuan kehidupan bukan di dunia. Dunia hanya sebagai manzil tempat transit, sementara yang menjadi wathan atau kampung halamannya adalah akhirat. 


Al-Qalb diibaratkan sebagai al-malik atau raja. Ternyata tahapan untuk ‘mengenal diri’ cukup panjang, tidak hanya dengan puasa namun harus menaklukkan (1) pion untuk menahan tidak makan dan tidak minum, (2) jiwa atau al-nafs dengan tidak melakukan dan berkata buruk, (3) puasa akal dengan senantiasa berpikir produktif dan positif, (4) puasa hati yakni meyakini kehidupan dunia sementara yang terpenting bertemu dengan Allah SWT,” ungkap Kiai Oman.


“Mari kita sama-sama belajar dan berikhtiar dengan cara mengondisikan diri, bahwa puasa ini adalah jalan supaya kita bisa mengendalikan hati kita, menjadi al-nafs al-muthmainnah, jiwa-jiwa yang tenang,” pungkas Kiai Oman.

Pewarta: Atunk Foto: Raja/Atunk