Yayasan Islam Al-Hamidiyah
Berita
Home / Berita

Buka Puasa Bersama dan Tahlil 40 Hari, Mustasyar: Dua Pola Sikapi Kematian

Jum'at, 05 April 2024 Oleh Kajis 582 kali

JAKARTA – Dalam acara buka puasa bersama dan tahlil 40 hari memperingati wafatnya Almarhum Ir. H. Raden Panji Hadi Tjahjono Sasraningrat, M.B.A., M.M., Dr. (H.C.) H. Lukman Hakim Saifuddin (Mustasyar Yayasan Islam Al-Hamidiyah) memberikan nasihatnya terkait peringatan kematian (Kamis, 4/4/2024).

 

Pak Lukman menyampaikan bahwa dalam tradisi Islam, ada peringatan hari kelahiran dan kematian. Rasulullah saw. diperingati hari lahirnya yang dikenal dengan istilah ‘maulid’ dan tokoh atau ulama besar diperingati hari kematiannya atau ‘haul’.


“Keduanya, sama-sama baik. Tujuan memperingati ini ialah mendoakan yang wafat dan yang ditinggalkan, serta mengambil pelajaran atau suri teladan. Ada dua pola menyikapi kematian, duka cita atau ekspresi kesedihan yang biasanya dalam perspektif yang ditinggalkan dan suka cita atau ekspresi riang gembira dalam perspektif yang meninggal dunia karena ia berpulang bertemu Tuhannya yang dalam filsafat Jawa disebut manunggaling kawula lan gusti atau faham Ittihad,” tutur putra alm. Prof. K.H. Saifuddin Zuhri tersebut.




Pak Lukman berkisah tentang Alm. K.H. Moeslim Rifa'i Imampuro atau Mbah Liem Klaten yang sebelum wafatnya berwasiat agar para keluarga dan santri ketika beliau wafat tidak boleh ada yang sedih.  Prosesi pemakaman harus riang gembira. 


“Alhamdulillah, saya mendapat kesempatan takziah dan ikut dalam prosesi tersebut. Jenazah saat dibawa ke pemakaman diarak dengan hadrah. Beliau dikenal sebagai kiai yang khawariq al-’addah, berbeda dengan kelaziman umum, ” lanjutnya.


Pak Lukman mengambil pelajaran dari alm. Pak Hadi dengan kata kunci ‘cinta’. Selama hidupnya, almarhum mendedikasikan untuk orang lain. Masjid Assalam merupakan peninggalan konkret almarhum.  



“Kepedulian terhadap orang lain pasti dilandasi rasa cinta, tidak mementingkan ego dirinya sendiri. Bahkan almarhum sampai tidur di masjid. Kedua, almarhum tidak pernah marah. Bagi saya, orang yang tidak pernah marah berarti memiliki kemampuan pengendalian diri dan emosi yang tidak mudah.”


Pak Lukman juga mengingat bagaimana almarhum begitu setia kepada istrinya. Meskipun telah meninggal selama 18 tahun, beliau tidak pernah menikah lagi.


“Tidak hanya itu, menurut kesaksian Bu Aty atau Marti Alifa Fauzia, S.Psi (Wakil Direktur Pendidikan), almarhum bahkan memasang foto pernikahannya di kaca spion mobilnya hingga akhir hayatnya. Ini sungguh luar biasa, bagi saya yang biasa-biasa ini,” katanya sambil tersenyum.




Dari kisah almarhum, Pak Lukman mengambil pelajaran bahwa orang yang memiliki rasa cinta berarti ia sudah selesai pada dirinya sendiri. 


“Sering kali, hampir semua persoalan, itu muncul karena orang berorientasi pada dirinya sendiri. Lebih mengedepankan egonya, seperti ungkapan ‘perhatikan saya dong’, 'pedulikan saya dong’, ‘mana hak saya’, pokoknya selalu saya dan saya. Almarhum sudah selesai dengan yang demikian itu,” pungkas Pak Lukman.


Pewarta: Atunk Foto: Eky/Raja/Atunk