Yayasan Islam Al-Hamidiyah
Dakwah
Home / Dakwah

Cara Mendapatkan Hidayah dan Doa dari Rasulullah SAW

Jum'at, 08 April 2022 Oleh Kajis 2439 kali

DEPOK - Ngaji Bersama Pengasuh atau “Ngasuh” edisi ketiga yang diampu oleh Kepala Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah, Prof. Dr. K.H. Oman Fathurahman, M.Hum membahas materi terkait hidayah dan tipu daya setan (Kamis, 24/03/22). Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, pengajian dilakukan secara hybrid atau online melalui aplikasi Zoom Meeting.  

Kiai Oman menerangkan bahwa semua hal ada permulaannya dan akhirannya. Dalam bahasa  Arab biasa disebut bidayah dan nihayah. Syariat dan tarekat masuk dalam ranah bidayah atau permulaan. Sedangkan nihayah ialah meraih ridha Allah. 

Bidayah itu cangkangnya, kira-kira begitu ya, tampang, luaran, lahirnya, fisiknya dan di dalam kebaikan itu selalu ada Nihayah yaitu substansinya seperti itu,” ungkap Kiai Oman.

Penulis buku Filologi Indonesia: Teori dan Metode ini memberikan analogi bahwa bidayah atau syariat seperti kita menanam pohon, sedangkan nihayah seperti memetik buahnya. Kalau dalam dunia kerja, bidayah seperti tata tertib atau aturan, sedangkan nihayah merupakan kepuasaan dalam bekerja. 


“Jadi, sebelum kita mendapatkan Ridha Allah, sebelum mendapatkan hidayah dari Allah maka kita harus melakukan hal-hal yang mendasar dahulu di dalam agama misalnya shalat, puasa, bayar zakat, haji. Jangan ujug-ujug (tiba-tiba) ah saya mah tidak perlu shalat tidak perlu melaksanakan puasa dua yang penting saya mah langsung aja lah minta Hidayah kepada Allah nggak bisa,” tutur Kiai Oman.


Setelah selesai menerangkan hidayah, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah melanjutkan pembahasan terkait nafsu. Kiai Oman menekankan bahwa jika kita menunda amal-amal baik kita, ini pertanda ada nafsu dalam jiwa kita. 


Mumatilan dan musawwifan artinya hampir serupa yakni nanti-nanti, juga janji tapi tidak ditepati. Jika hal ini ada di dalam diri kita, kata Imam Al-Ghazali maka kita terjangkit nafsu al-ammarah bissu’, hawa nafsu yang senantiasa mengajak pada keburukan,” jelas Kiai Oman. 


Ketika seorang hamba mematuhi hawa nafsunya, kata Imam Al-Ghazali berarti ia telah muthi’atan patuh kepada setan yang terkutuk dan terjerumus ke dalam jurang kecelakaan. 


“Jadi, seandainya kita melakukan kebaikan,” lanjut Kiai Oman, “Tapi hati kita tidak lurus, sesungguhnya kita sedang mengikuti tipu daya setan,”


Imam Al-Ghazali menjelaskan kembali bahwa cara setan menjerumuskan manusia tidak selalu melalui jalan keburukan, namun sering kali ditunjukkan pada jalan kebaikan. Seakan-akan manusia melakukan kebaikan padahal dia dalam keburukan.


“Kita perlu sering ta’awudz yakni mengucapkan a’udzubillahi minasy syaithanir rajim, agar selalu diberi perlindungan oleh Allah Swt,” ujar Guru Besar Filologi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta itu. 


Imam Al-Ghazali menegaskan, keagungan menuntut ilmu dan menjadi ulama, juga sering kali ditanamkan kepada setan kepada manusia. Termasuk hadits-hadits keutamaan ilmu lebih ditekankan, tetapi setan melalaikan seseorang dari hadits lain seperti, "Siapa yang bertambah ilmunya sedangkan hidayahnya (amalannya) tidak bertambah, maka ia hanya bertambah jauh dari­pada rahmat Allah”.  Ada juga hadits lain artinya, "Orang yang paling dahsyat siksaannya pada hari kia­mat nanti adalah orang yang alim yang tidak Allah berikan manfaat ilmunya”.


Di akhir pengajian, Kiai Oman mengajak para jama’ah untuk membaca bersama-sama doa Rasulullah SAW yang dicatatkan Imam Al-Ghazali:


 اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ  وَ عَمَلٍ لاَ يُرْفَعُ وَ دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ  


 "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari il­mu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari amalan yang tidak diterima, dan dari doa yang tidak dikabulkan." 



Pewarta: Atunk

Komentar

1000 Karakter Tersisa


0 Komentar


Belum ada komentar