Pesantren Al-Hamidiyah
Home > Berita
Berita

Haul Ke-27 KH. Achmad Sjaichu Mengusung Tema: Menjaga Sanad Ilmu, Merawat Ajaran Guru

Jum'at, 11 Februari 2022 Oleh Irma Rahmawati 2484 kali

Pesantren Al-Hamidiyah, Depok menggelar acara peringatan Haul ke-27 pendirinya, K.H. Achmad Sjaichu, pada Sabtu, 5 Februari 2022 pagi hingga siang hari. Haul ke-27 ini mengambil tema “Menjaga Sanad Ilmu, Merawat Ajaran Guru”.

Kepala Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah, Prof. Dr. KH. Oman Fathurahman, M. Hum, menjelaskan bahwa tema besar ini memiliki makna mendalam. Sanad artinya sandaran, hubungan, atau rangkaian perkara yang dapat dipercayai. “Dalam tradisi hadis, sanad artinya rangkaian orang-orang yang meriwayatkan hadis kepada kita, yang terhubungkan sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Sedangkan sanad ilmu agama dapat dipahami sebagai rangkaian yang menghubungkan ilmu seorang murid dengan gurunya, guru-gurunya, dan guru bagi guru-gurunya, hingga terus tersambung kepada Rasulullah Saw. Sederhananya, bicara sanad ilmu berarti memperhatikan dari siapa kita belajar ilmu, siapa guru kita, dan siapa guru bagi guru-guru kita”, ungkap Kyai Oman menjelaskan.

Dalam Islam, sanad ilmu itu penting diperhatikan. Seseorang tidak boleh sembarangan mempelajari ilmu agama tanpa seorang guru, agar tidak terjebak pada logika yang keliru, atau terjerumus pada pemahaman keagamaan yang dilandasi nafsu. Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang belajar ilmu agama tanpa guru, maka gurunya adalah syaithan. Sanad ilmu menjadi sangat penting di era media sosial.

“Di era digital dan media sosial, ada kecenderungan warganet/netizen belajar ilmu agama hanya mengandalkan content yang tersedia di dunia maya, baik berupa video, atau narasi di blog dan kanal berita. Jika ditelan mentah-mentah, tanpa adanya penjelasan yang memadai dari guru yang benar-benar memahami, dan tanpa mendapat penjelasan konteks yang benar, maka bisa jadi content agama yang tersedia itu disalahpahami sesuai kecenderungan dasar si pendengar atau pembaca”, tambah Kyai Oman, yang juga pengampu Ngariksa, sebuah program edukasi agama dan budaya di media sosial.


Dalam sambutannya ketika menjelaskan filosofi Santri KITAB, Kyai Oman menegaskan bahwa di era ini, penguasaan kitab melalui pembelajaran dengan guru sangat penting agar dakwah di media sosial tetap terjaga kebenarannya serta diterima dengan baik oleh masyarakat. “Sebuah materi agama yang benar, yang disampaikan oleh seorang penceramah di media sosial, bisa saja ditolak kalau kepentingan dan kecenderungan politik pendengar/pembacanya berseberangan. Begitu juga sebaliknya, sebuah tafsir agama yang keliru, yang provokatif dan disampaikan oleh seorang penceramah di media sosial, seringkali dianggap benar kalau kepentingan politiknya sama. Inilah pentingnya sanad ilmu. Ada ungkapan hikmah bahwa “Al-Isnad minad din; laulal isnaad laqala man sya’a ma sya’a”, yang artinya: “Sanad adalah bagian dari agama. Andaikan tidak ada sanad, orang akan berbicara agama sesuai hawa nafsu dan kepentingannya saja”, tegas Kyai Oman.


Haul ke-27 Kyai Achmad Sjaichu dapat juga dimaknai sebagai momentum penegasan kehadiran Pesantren Al-Hamidiyah dalam dalam membimbing santri dan masyarakat agar memperoleh ilmu pengetahuan keagamaan khususnya, yang memiliki sanad atau sandaran ilmu yang jelas. Pesantren Al-Hamidiyah didirikan oleh Kyai Achmad Sjaichu (1923-1995), yang sanad keilmuannya jelas terhubungkan dengan para ulama besar Nusantara, seperti KH Abdul Wahab Hasbullah, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama yang menjadi ayah tirinya, juga menjadi murid kesayangan KH Ma’sum di Pesantren Al-Hidayah Lasem Rembang. Bahkan, Kyai Achmad Sjaichu juga diketahui belajar agama kepada para ulama besar lainnya seperti KH. Adlan Ali Tebuireng, KH. Ali Sibromalisi, Kuningan Jakarta, dan KH. Abdullah Ubaid (Nahdlatul Wathan), dan lainnya. Sanad ilmu para ulama Nahdlatul Ulama tersebut tersambung hingga kepada Rasulullah Saw.

“Belajar di Pesantren Al-Hamidiyah, bersama murid Kyai Sjaichu, dan murid dari murid Kyai Sjaichu, atau murid dari guru yang sama sanadnya dengan Kyai Sjaichu, sama artinya dengan kita turut serta dalam menjaga sanad ilmu Almaghfurlah, serta ikut merawat ajaran guru-guru yang telah secara turun temurun mengajarkan ilmu, yang sanadnya tersambung secara terpercaya”, ujar Kyai Oman, “Belajar agama dari media sosial bukan terlarang. Namun, seseorang harus punya sandaran guru dalam berilmu, guru yang bisa menjelaskan content yang dijumpai di media sosial”, pungkas Guru Besar Filologi di Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta ini.

Archive