Pesantren Al-Hamidiyah
Home > Berita
Berita

Pengajian Khataman Ayyuhal Walad (8): Kisah Sufi Hatim Al-Asham dan Asy-Syibli

Senin, 10 April 2023 Oleh Kajis 2147 kali

DEPOK – Kegiatan khataman Ayyuhal Walad karya Al-Imam Al-Ghazali yang diadakan setiap sore di Masjid Jami’ Al-Hamidiyah pada hari kedelapan diisi oleh Prof. Dr. K.H. Oman Fathurahman M.Hum. Semakin hari kian banyak materi yang telah disampaikan oleh beberapa kiai. Sampai hari ini, beliau menyampaikan materi yang berisikan tentang ajaran-ajaran guru terhadap santrinya (Rabu, 5/4/2023).

‘’Wahai santriku, sungguh engkau telah mengetahui dari dua cerita ini yakni cerita dari Imam Asy-Syibli dan Imam Hatim Al-Asham. Imam Asy-Syibli mengatakan “aku sudah berguru dengan 400 guru dan membaca 4.000 kitab tetapi hanya satu yang aku amalkan yakni bekerjalah untuk duniamu sesuai lamanya kamu menempatinya, beramalah untuk akhiratmu sesuai keabadaianmu di dalamnya, beramalah untuk Allah SWT sebanyak kebutuhanmu kepadanya, dan takutlah kepada Neraka sesuai dengan sabarmu menahan panasnya”. Kemudian Imam Hatim menyampaikan mengenai 8 faedah yang dapat diamalkan,” tutur Kiai Oman mengawali pengajian pada sore ini.

Sebelum melanjutkan Kiai Oman sedikit menceritakan asal-muasal Imam Hatim memiliki julukan Al-Asham. arti kata al-Asham berarti orang yang tuli, Imam Hatim menyandang julukan ini selama 15 tahun. Dikisahkan ada seorang perempuan muda yang cantik ingin membeli sesuatu dari Imam Al-Hatim, kemudian tanpa sengaja perempuan tersebut kentut dengan suara yang nyaring, perempuan itu malu hingga memerah wajahnya dan terburu-buru ingin menyelesaikan pembeliannya. 


Imam Hatim yang menyadari hal tersebut tidak mau membuat orang lain merasa malu karena dirinya, maka ia pun berpura-pura tuli. Si perempuan mengambil suatu barang dan bertanya mengenai harganya, dijawablah oleh Imam Hatim, “Sudah buka dari tadi”. perempuan itu merasa heran dengan jawaban tersebut kemudian bertanya lagi mengenai harganya dan Imam Hatim menjawab “Iya, saya dari tadi sendiri tidak ada teman”. 

Karena beberapa kali ditanya tetapi Imam Hatim memberikan jawaban yang tidak sesuai maka perempuan ini berpikir bahwa Imam Hatim adalah seorang yang tuli. Dia pun berpikiran bahwa Imam Hatim tidak akan mendengar suara kentut yang dikeluarkannya tadi. Dengan ini perempuan itu merasa lega dan akhirnya menyelesaikan keperluannya tanpa perlu terburu-buru karena malu. 

“Hal inilah yang membuat Imam Hatim memiliki julukan Al-Asham hingga 15 tahun lamanya. Beliau baru mengatakan bahwa dirinya tidak tuli selepas meninggalnya perempuan tersebut karena sudah tidak akan ada lagi yang merasa dipermalukan. Begitulah salah satu sikap luar biasa yang dimiliki oleh seorang ulama,” tambah Kiai Oman.

Melanjutkan nasihat Al-Ghazali, sang santri yang dinasihatinya sebenarnya tidak membutuhkan memperbanyak ilmu karena yang lebih penting adalah mengamalkannya, seperti hikayat dari Imam Asy-Syibli yang mempelajari 4.000 kitab tetapi hanya satu yang diamalkan karena satu ilmu tersebut telah mencakup keseluruhan dari pada semuanya. Tidaklah berarti ilmu yang banyak apabila kita tidak mengamalkannya.


“Seorang santri harus memiliki guru, syekh, atau mursyid. Santri yang tidak memiliki guru dan hanya belajar dari YouTube, Google, Tiktok, maka gurunya adalah setan. Santri yang belajar dari internet hanya mendapatkan ilmu dan sudah pasti tidak bisa mengubah akhlak yang buruk menjadi akhlak yang baik karena itu santri tidak bisa cukup belajar dari teknologi tersebut. Santri harus tetap didampingi baik oleh guru, ustadz, ustadzah, kiai, bu nyai agar senantiasa mendapat petunjuk. Internet hanya memberikan informasi atau ilmu tanpa adanya keberkahan di dalamnya,” pesan Kiai Oman kepada seluruh santri putra putri Pesantren Al-Hamidiyah.

Kiai Oman menjelaskan bahwa seorang guru tidak ubahnya laksana petani. Pada umumnya, petani mencabut duri yang tidak berguna dari tanah yang akan ditanami agar dapat diisi tanaman baru kemudian menumbuhkan padi yang dapat bermanfaat untuk semua orang. Begitu juga tugas seorang ustadz, tugas seorang guru, tidak hanya memberikan ilmu tetapi juga mengubah akhlak yang tadinya buruk menjadi baik.

“Salah satu doa yang saya bubuhkan ketika sujud terakhir dalam sholat adalah untuk para santri, ketika sujud terakhir saya ucapkan dalam hati ‘Ya Allah, jadikanlah santri-santri Pesantren Al-Hamidiyah saleh dan salehah’. Saya tidak hanya mendoakan para santri untuk pintar karena semua santri memiliki kelebihan masing-masing tetapi saya mendoakan agar seluruh santri memiliki akhlak yang baik,” ujar Kiai Oman.


Di antara kekhasan santri ialah memiliki guru yang jelas sanad keilmuannya. Kiai Oman sendiri berguru kepada Kiai Ajengan Ilyas Ruhiat di Cipasung. Kemudian Kiai Ilyas Ruhiat berguru kepada ayahnya yakni Kiai Ruhiat. Kemudian Kiai Ruhiat berguru kepada Mbah Ma’shoem, salah satu gurunya Almaghfurlah K.H. Achmad Sjaichu, Pendiri Pesantren Al- Hamidiyah.

Kiai Oman menyampaikan bahwa Al-Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad ini menjelaskan ciri-ciri seorang yang pantas dijadikan guru (syekh atau mursyid) sehingga setiap orang tidak dapat mengaku-ngaku sebagai syekh dan mursyid. Seorang syekh atau mursyid haruslah yang tidak terperangkap dalam kecintaan dunia, kecintaan pangkat, merupakan seorang yang bashirah, dan ilmunya terhubung dengan Rasulullah SAW, selalu memperbaiki latihan diri dengan tidak banyak makan, berbicara, tidur secukupnya, memperbanyak salat, bersyukur, bertawakal, yakin, merasa cukup, menenangkan diri dengan sifat tawadu’, bijak, berilmu, jujur, malu, Amanah, berwibawa, tenang, berhati-hati dan lain sebagainya, yang mana sifat-sifat tersebut adalah cerminan dan contoh dari Nabi Muhammad SAW.

Apabila ada yang memiliki guru dengan ciri-ciri tersebut berbahagialah, hormatilah baik secara dzahir maupun batin. Jangan membantah apa yang dikatakan oleh syekh, dan jangan sibuk untuk mencari alasan dalam setiap permasalahan yang meskipun dia tahu hal tersebut merupakan kesalahan syekh. 

“Jika seorang santri melihat ustadz atau gurunya melakukan kesalahan maka cari tahu terlebih dahulu tidak langsung mengkritiknya, namun apabila beliau-beliau tersebut melakukan kesalahan yang menyalahi syariat maka hal tersebut tidak bisa dimaafkan,” pungkas Kiai Oman.


Pewarta: Modesty Inaura S.

Foto: Linda


Archive